1.da hal yang menarik untuk di sharingkan di pertemuan terakhir mata
kuliah online journalism bapak menyinggung tentang idealisme dan
kapitalisme tidak perlu di pertentangkan
jika bapak melihat antara keduanya tidak perlu di pertentangkan untuk
saat ini, yang jelas khalayaklah menjadi korban utama krn pihak media
akan semena-mena
bukankah media telah mempunyai fungsi dan tugas untuk memberiakan
suatu fakta tapi ketika kapitalisme menguasai media maka yang akan
terjadi sebaliknya
2. seberapa idealisme kompas dalam menyikapi kapitalisme
3. saya menjadi bingung sebagai orang yang mungkin akan terjun di
dunia yang penuh kebohongan ini "media", di satu sisi kita di ajarkan
untuk menjadi profesional dan satu sisi banyak sekali cerita tentang
praktek di dunia kerja yang cenderung komersil
4. mungkinkah idealisme sudah termakan uang
trimakasih tas kesediaannya untuk bisa konsultasi
TANGGAPAN
Terima kasih tanggapannya
1. Kita mesti memahami realitas kapitalisme. Di luar soal ideologi yang membuat penganut atau pembencinya hanya mengembangkan sikap oposisi biner, kapitalisme bisa kita lihat sebagai sejenis jalan bagi proses development. Tidak ada bangsa atau negara di dunia ini, dalam peradaban modern, tanpa memilih jalan ekonomi pasar, dan di ujung sebelah sana, kapitalisme.
Pergerakan manusia modern, mulai dari penemuan benua Asia oleh kolonialisme, penemuan Amerika, yang mendasari modernisasi (apapun makna historisnya) tumbuh dari motiv ekonomi (baca kapitalisme).
Kapitalisme pula yang mendorong munculnya peradaban teknologi. Karena alat-alat dan obat, dibuat dengan motif kapitalistik, atau mencari keuntungan di pasar sebanyak-banyaknya.
Sejarah media, demikian pula, tumbuh bersama motif mendapatkan keuntungan. Diawali dengan sejarah roman picisan, koran dan majalah, hingga televisi terestrial, satelit dan internet. Semua selain alat informasi, tak kalah penting juga alat ekonomi. Atau disebut komoditas.
Tidak ada lagi alasan untuk mempertentangkan kapitalisme dengan idealisme. Munculnya radio-radio di kota kecil, juga karena alasan menggerakkan usaha dan mendapatkan keuntungan.
Idealisme tentu saja tetap mendapat tempat. Sama seperti, katakanlah posisi agama dalam pasar. Meski mendapat keuntungan, agama mendesak pelaku pasar untuk bersikap jujur, menjaga timbangan, dan seterusnya. Tentu kemudian ada limitasi tertentu yang membuat batas idealisme dan kapitalisme kabur
2. Saya tidak dalam posisi menjelaskan idealisme Kompas. Saya bukan Kompas dan Kompas bukan saya. Idealisme media secara umum, Kompas atau bukan, bisa ditakar dengan metode-metode riset, yang tentu sudah anda pelajari. Ambil contoh, iklan sesat seperti penumbuh rambut, iklan pengasihan, susuk, klenik, muncul di jenis koran atau media tertentu. Tentu kita bisa mengukur, idealisme penerbitnya yang telah mengiklankan "iklan penipuan" seperti itu. Media seperti spanduk dan baliho di jalanan, apakah bersih dari dari kebusukan, sedangkan isinya adalah iklan bohong tentang pulsa gratis yang kita tahu tidak akan gratis. Tak harus menyebut Kompas atau apa, masyarakat memiliki kemampuan menilai, apakah Luna Maya bohong atau tidak dengan iklan yang dibawakannya. Itu sebabnya Iwan Fals memilih sepeda motor India bukan, bukan mocin yang kita tahu bermutu rendah
3. Mengapa mesti demikian berat menanggung moralitas sebuah kata. Komersial adalah tindakan yang wajar dalam ekonomi dan bisnis. Sebab komersial menandai pertukaran ekonomi, proses memberi gain (imbalan) atas nilai tukar barang atau jasa yang menjadi nyawa dari bergeraknya ekonomi masyarakat. Orang tak bisa menerbitkan koran, tanpa membeli kertas. Harga informasi dan harga kertas berjalan paralel, lalu dieksekusi menjadi harga "produk media", katakanlah majalah Bobo. Itu wajar, dan tak bertentangan.
4. Uang memakan idealisme, terjadi di mana saja. Itu sebuah moralitas standar pada tindakan manusia paling sepele sekalipun. Yakni kejujuran
Semoga membantu
Dody Wisnu Pribadi
Komentar Balik
terimaksih atas jawabannya
setelah saya membaca beberapa artikel, sharing dengan orang lapangan dan jawaban dari anda, saya mendapat jawaban serupa alias idealisme akan hilang dengan sendirinya jika berbenturan dengan kebutuhan yang mendesak apalgi orang yang sudah berkeluarga dan jawaban itu mengingatkan saya dengan kata yang pernah terlontar dari salah satu teman "uang memang bukan segala-galanya tapi, segala-galanya membutuhkan uang"
namun, saya dapat menarik benang merah bahwasannya idealisme dan uang harus tetap seimbang karena pekerjaan punya tanggung jawab kepada diri sendiri, masyarakat dan Tuhan. seharusnya metode apa yang harus dilakukan untuk menyeimbangkan 2 hal tersebut.
sebenarnya saya hanya baru-baru ini mengerti tentang media dan saya ingin berteriak brontak dengan perlakuan media khususnya televisi yang mendesain pembodohan masal pada khalayak dan penuh kekaburan, namun saya juga bingung apa yang harus saya lakukan, dengan apa saya harus melawan atau paling tidak meminimalisir kekerasan media"televisi"
saat ini saya hanya bisa melakukan hal-hal kecil dari diri saya sendiri untuk meninggalkan tayangan yang membuat bodoh dan melarang orang terdekat saya untuk menjauhi televisi. menurut anda untuk selanjutnya apa yang harus saya lakukan
ketidakberdayaan saya melihat media sedikit tertumpahkan lewat naskah teater karena hingga saat ini masih aktif di teater kampus sehingga saya membuat naskah sendiri tentang kritik terhadap televisi"dampak televisi terhadap keluarga". namun, ada yang berkomentar bahwasannya dalam naskah tersebut belum menyentuh pada akar permasalahan. menurut anda akar permasalahan dari tayangan bodoh di televisi apa?(saya sudah meninggung acara televisi yang membodohi masyarakat, mengajari mimpi"anak kecil ingin seperti ini dan itu yang mengarah pada hal negatif", kepemilikan media, keluarga lebih mementingkan menonton televisi dari pada melihat dapurnya yang sudah tak lagi berasap, masyarkat sendiri yang bodoh), hal penting apa lagi yang harus di ungkap